Monday, November 13, 2017

Viralisme

Jakarta - “Zaman Now” begitu merka menyebutnya, era dimana segala yang berbau moderenisasi berlomba-lomba dalam menjangkau level popularitas pada lingkungan masyarakat. Berbagai cara ditempuh demi mencapai tujuan ini, tujuan yang semata-mata hanya demi eksistensi diri serta menjadi alternatif lain dalam mengumpulkan pundi-pundi materialisme, hal-hal yang zaman now ini merupakan hal yang digandrungi oleh masyarakat khususnya kaula muda.
              Salah satu cara dalam mencapau tujuan tersebut adalah dengan mem-viral kan segala hal, baik yang penting, hingga tidak penting sekalipun. Pengertian viral adalah aktivitas di dunia maya yang menggambarkan penyebaran sebuah informasi melalui media online yang tersebar dengan cepat sehingga membuatnya menjadi populer dan menjadi perbincangan khalayak umum (www.sumberpengertian.com) . Coba anda ketik kata “viral” pada kolom-kolom pencarian yang sifatnya online. Apa yang anda temukan? Berbagai postingan baik visual, maupun audio visual berdurasi satu hingga 10 menit dapat anda temukan, berbagai konten dari konten yang isinya memuat konflik di masyarakat, statement para publik figur, semua di viral dengan dalih ini semua termasuk dalam azas demokrasi serta kebebasan dalam pers. Maka jangan heran pada era zaman now ini banyak bermunculan jurnalis-jurnalis dadakan bermodalkan perangkat digital pintar bertebaran menunggu kejadian yang dianggap “informatif” bagi mereka. Secara pers tujuan dari viral ini adalah demi menyebarkan segala hal yang berbau informatif kepada khalayak luas. Pertanyaan nya apakah konten “ibu-ibu marah ditilang polisi”, “pemilik mobil mengamuk, kendaraannya diangkut dishub” “tauran SMA A VS STM B” merupakan konten yang berbau informatif? Konten-konten tersebut merupakan contoh dari sekian banyak viralisme yang zaman now ini banyak bermunculan di kolom-kolom pencarian. Pertanyaanya sekarang apakah konten-konten tersebut termasuk golongan yang informatif? Anda-anda mungkin tau sendiri jawabannya, namun kenapa hal-hal tersebut justru lebih menarik animo masyarakat ketimbang viral-viral yang berisikian prestasi bangsa atau setidaknya lebih edukatif untuk dikonsumsi. Jangan salahkan bila pada era zaman now ini muncul juga hakim-hakim dunia maya yang beropini dan men-judgement fenomena-fenomena “informatif” dengan kata-kata yang kita sebut sebagai “bullying” tersebut, karena sesungguhnya kita sendiri para viralis yang menginginkan keadaan seperti ini.

              Sudah saatnya masyarakat merevolusi mental seperti yang dicanangkan oleh Bpk. Presiden Jokowidodo, karena memang pola pikir atau mental masayarakat sekarang merupakan momok untuk bangsa dan negri ini sendiri, janganlah kita hancur karena pola pikir kita sendiri, bangsa ini butuh sesutu yang benar-benar berbau prestasi dan informatif demi kemajuan bangsa dan negri kita tercinta ini.

Sunday, November 12, 2017

ANGKA


Selamat datang di era globalisasi milenialisme dimana materialsime merupakan tolak ukur dari suatu pencapaian akan kesuksesan, dimana nominal angka menentukan dalam lo mencari kesajahteraan. Sedikit humor bahwasanya hidup kita sekarang ditentukan dari angka-angka yang secara sistematis dapat dikorelasikan dengan tingkat ‘kebahagiaan” lo . Dari mulai menjalani proses akademik hingga terjun kedalam lingkaran hidup bermasyarakat, semua dinilai secara kuantitatif.
Disini mungkin gue akan berbicara dimana angka, 2,75, 3,25, 3,51 benar-benar akan menentukan bagaimana lo akan menghadapi anomali nya era globalisasi milenialsime sekarang. Mungkin angka-angka tadi tidak asing bagi lo lo semua yang berumur diatas 19 tahun keatas, bagi generasi yang lahir antara tahun 1996-1999 angka-angka tadi merupakan tolak kesuksesan dalam menghadapi lika-liku rutinitas yang sekarang lo sedang jalani, sedangkan bagi generasi ‘baru produktif’ (tahun 1995 – 1993) yang katanya secara ‘kualitatif’ telah dinilai dihargai dengan angka-angka tadi yang sifatnya kuantitatif. Pertanyaannya apakah angka-angka tadi secara kualitatif dapat menggambarkan sejauh mana kopetensi dari generasi baru pdroduktif ini? Melihat perkembangan dan sistem yang ada sekarang ada 2 jawaban untuk pertanyaan tadi, jawaban yang dilandasi dari tiap-tiap stake holder yang memandang berbeda akan angka-angka tadi. Bagi para penguasa tau lebih dibiliang tuan-tuan koorporasi yang membutuhkan ‘budak-budak’ korporat tentunya akan menggaris bawahi bahwasanya angka-angka tadi akan menjadi penentu tingkat kompetensi para generasi baru produktif ini, dimana angka 3 menjadi kunci utama pembuka pintu jika ingin mengikuti dan menjalani rutinitas korporat. Faktanya sekarang rutinitas koorporat merupakan damba an dari para generasi baru produktif ini, kenapa gue bisa berbicara seperti ini? Gue ambil contoh dari rekan-rekan satu generasi yang sempat berinteraksi dan menjalani proses akademik bersama, hampir 90% diantaranya mendambakan diri mereka menjalani rutinitas koorporat tadi termasuk gue sendiri, karena kembali lagi para tuan-tuan koorporasi ini menawarkan sejumlah angka-angka menarik yang sifatnya materialsime kepada calon-calon generasi baru produktif, ditambah seperti yang gue bilang di awal bahwasanya sekarang materialisme merupakan tolak ukur lo dalam mencari kesejahteraan. Bagi generasi baru produktif berlebel 3 kesempatan itu mungkin terbilang besar mengingat secara sistem tuan-tuan koorporasi meneptapkan standar minimal ‘kualitatif’ 3, sekarang bagi para generasi baru produktif berlebel 2,75, apakah tidak berhak menikmati kesajehteraan di era ini atau apakah generasi berlebel ini tidak punya kesempatan untuk menjalani rutinitas koorporat tadi? Sekarang pertanyaanya sejauh mana perbedaan 3 dan 2,75 yang benar-benar secara kualitatif dapat dilihat? Faktanya banyak generasi baru produktif berlebel 2,75 dapat berdampingan menjalani kehidupan koorporat dengan generasi berlebel 3, walaupun secara start up mungkin generasi berlebel 2,75 melewati pintu lain yang tidak sama dengan para generasi berlebel 3. Bagi gue itu tidak menjadi masalah, karena bagi gue yang terpenting adalah output yang kualitatif, bukan mereka yang quantitatif tapi angka yang ada sebenranya imajinatif. Gue ga menyalahkan karena memang lebel 3 dapat menggambarkan bahwa secara kualitatif dapat dikatakan baik, tergantung bagaimana cara mendapatkannya, namun bukan berarti angka 2,75 dapat dikatakan memiliki kopetensi yang kurang baik karena sebenarnya kalian tidak tahun apa yang mereka telah lalui sehingga menjadi manusia 2,75, steatment gue sekaligus menjadi jawaban kedua dari pertanyaan di awal tadi dengan kata lain jawabannya keduanya adalah “belum tentu, tergantung cara mendapatkannya”.


ANGKA


Selamat datang di era globalisasi milenialisme dimana materialsime merupakan tolak ukur dari suatu pencapaian akan kesuksesan, dimana nominal angka menentukan dalam lo mencari kesajahteraan. Sedikit humor bahwasanya hidup kita sekarang ditentukan dari angka-angka yang secara sistematis dapat dikorelasikan dengan tingkat ‘kebahagiaan” lo . Dari mulai menjalani proses akademik hingga terjun kedalam lingkaran hidup bermasyarakat, semua dinilai secara kuantitatif.
Disini mungkin gue akan berbicara dimana angka, 2,75, 3,25, 3,51 benar-benar akan menentukan bagaimana lo akan menghadapi anomali nya era globalisasi milenialsime sekarang. Mungkin angka-angka tadi tidak asing bagi lo lo semua yang berumur diatas 19 tahun keatas, bagi generasi yang lahir antara tahun 1996-1999 angka-angka tadi merupakan tolak kesuksesan dalam menghadapi lika-liku rutinitas yang sekarang lo sedang jalani, sedangkan bagi generasi ‘baru produktif’ (tahun 1995 – 1993) yang katanya secara ‘kualitatif’ telah dinilai dihargai dengan angka-angka tadi yang sifatnya kuantitatif. Pertanyaannya apakah angka-angka tadi secara kualitatif dapat menggambarkan sejauh mana kopetensi dari generasi baru pdroduktif ini? Melihat perkembangan dan sistem yang ada sekarang ada 2 jawaban untuk pertanyaan tadi, jawaban yang dilandasi dari tiap-tiap stake holder yang memandang berbeda akan angka-angka tadi. Bagi para penguasa tau lebih dibiliang tuan-tuan koorporasi yang membutuhkan ‘budak-budak’ korporat tentunya akan menggaris bawahi bahwasanya angka-angka tadi akan menjadi penentu tingkat kompetensi para generasi baru produktif ini, dimana angka 3 menjadi kunci utama pembuka pintu jika ingin mengikuti dan menjalani rutinitas korporat. Faktanya sekarang rutinitas koorporat merupakan damba an dari para generasi baru produktif ini, kenapa gue bisa berbicara seperti ini? Gue ambil contoh dari rekan-rekan satu generasi yang sempat berinteraksi dan menjalani proses akademik bersama, hampir 90% diantaranya mendambakan diri mereka menjalani rutinitas koorporat tadi termasuk gue sendiri, karena kembali lagi para tuan-tuan koorporasi ini menawarkan sejumlah angka-angka menarik yang sifatnya materialsime kepada calon-calon generasi baru produktif, ditambah seperti yang gue bilang di awal bahwasanya sekarang materialisme merupakan tolak ukur lo dalam mencari kesejahteraan. Bagi generasi baru produktif berlebel 3 kesempatan itu mungkin terbilang besar mengingat secara sistem tuan-tuan koorporasi meneptapkan standar minimal ‘kualitatif’ 3, sekarang bagi para generasi baru produktif berlebel 2,75, apakah tidak berhak menikmati kesajehteraan di era ini atau apakah generasi berlebel ini tidak punya kesempatan untuk menjalani rutinitas koorporat tadi? Sekarang pertanyaanya sejauh mana perbedaan 3 dan 2,75 yang benar-benar secara kualitatif dapat dilihat? Faktanya banyak generasi baru produktif berlebel 2,75 dapat berdampingan menjalani kehidupan koorporat dengan generasi berlebel 3, walaupun secara start up mungkin generasi berlebel 2,75 melewati pintu lain yang tidak sama dengan para generasi berlebel 3. Bagi gue itu tidak menjadi masalah, karena bagi gue yang terpenting adalah output yang kualitatif, bukan mereka yang quantitatif tapi angka yang ada sebenranya imajinatif. Gue ga menyalahkan karena memang lebel 3 dapat menggambarkan bahwa secara kualitatif dapat dikatakan baik, tergantung bagaimana cara mendapatkannya, namun bukan berarti angka 2,75 dapat dikatakan memiliki kopetensi yang kurang baik karena sebenarnya kalian tidak tahun apa yang mereka telah lalui sehingga menjadi manusia 2,75, steatment gue sekaligus menjadi jawaban kedua dari pertanyaan di awal tadi dengan kata lain jawabannya keduanya adalah “belum tentu, tergantung cara mendapatkannya”.