Merupakan hal yang sangat biasa jika kita berbicara akan perbedaan,
perbedaan akan suku bangsa, bahasa, budaya, dan prespektif akan iman dalam hal
ini agama. Mungkin lo sering menemukan dalam kutipan-kutpan yang berceceran
luas yang membahas perbedan akan perspetif iman. Mungkin bunyinya seperti ini
“Perbedaan di ciptakan untuk melukiskan suatu keindahan”, ya mungkin kurang
lebih itulah inti dari semua kutipan-kutipan abstrak yang membawa kita ke dalam
toleransi akan perbedaan, toleransi yang sebagian di artikan ‘ekstrim’ bagi
sebagian orang yang berujung pada pluralism
bahkan multikulturalisme. Masih
sebuah pertanyaan besar bagi sebagian orang “Mengapa perbedaan perspektif ini
di ciptakan?’. Jika kita membahas pertanyaan ini, akan timbul diferensi dari setiap jawaban-jawaban
yang di ambi dari perspektif iman masing-masing orang. Pada haikatnya tiap-tiap
manusia di ciptakan sama tanpa adanya perbedaan akan apa dan siapa, manusia
memang tertakdir untuk dilahirkan sama, dan manusia tertakdir pula untuk
memliki perbedaan. Masih menjadi sebuah misteri dari sang Ilahi perhihal
rencana-Nya dalam menciptakan perbedaan perspektif iman ini.
Perspektif
Iman merupakan fenomena lumrah yang ada di dalam komunitas sosial, dan
merupakan fenomena yang membutuhkan toleransi besar dalam bersikap karena
sedikit banyak, jelas ataupun samar akan menimbulkan keretakan sosial bila
toleransi ini tidak tersikapi. Mungkin orang yang biasa pergi ke bangunan
berkubah akan sangsit ketika melihat orang yang pergi ke bangunan bergaya
katedrhal, mungkin orang yang menghias pohon cemara akan sangsit melihat orang
yang memakan ketupat, semua ini tentang toleransi akan perbedaan persepektif
iman. Yang menjadi
masalah bila sepasang insan dalam komunitas sosial tadi ingin mengikatkan diri
dalam suatu komitmen akan hidup bersama secara bahagia. Apakah toleransi yang
di agung-agung kan bagi setiap suku bangsa yang di canagkan dalam sebuah kata
bernama ‘demokrasi’ dapat di terapkan dalam fenomena seperti ini. Mungkin
banyak kita dengar dan kita lihat sendiri fenomena perbedaan akan perspktif
iman yang di abaikan demi cinta yang terjalin antara dua insan, fenomena yang
sebagian di artikan sebagai kebodohan karena pada tiap iman yang di anut
menuntut akan kesejenisan akan perspktif iman. Apakah ini dari suatu perbedaan,
benteng tinggi yang ‘menghalangi’ cinta antara dua insan yang ingin saling
berkomiten. Mungkin
jawaban yang dapat gue berikan cuma satu mengenai perspektif iman, yaitu sejauh
mana cinta lo kepada Dzat yang menciptakan perspektif iman tadi di bandingkan
cinta lo terhadap se- insan manusia yang juga merupakan ciptaan-Nya, lebih
sederhananya adalah apakah lo lebih mencintainya dibandingkan Dia yang
menciptakannya. Ubah perspektifnya, yakinkan dia yang lo perjuangkan cintannya,
demi cinta lo terhadap diri-Nya.